Disusun oleh :
Nama : Faridhatul Anifah
Kelas : KAP 12.01
NPM : 31046.122.0007
Jurusan : Komputer Akuntansi
SEKOLAH TINGGI ELEKTRONIKA & KOMPUTER
{STEKOM}
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Manusia Dalam perspektif islam”. Penulisan makalah merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah pendidikan Agama Islam STEKOM (Sekolah Tinggi Elektronika dan Komputer).
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar Belakan
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan
Manfaat Penulisan
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hakikat Manusia
2.2 Asal Usul Manusia
2.3 Pengertian Manusia
2.3.1 Pengertian Manusia Menurut Para Ahli
2.3.2 Pengertian Manusia Menurut Agama Islam
2.4 Proses Penciptaan Manusia Dalam Agama Islam
2.4.1 Penciptaan Manusia Menurut Al-Qur’an
2.4.2 Penciptaan Manusia Menurut Bibel
2.5 Kelebihan Manusia Dari Makhluk Lain
2.6 Peran Dan Tanggung Jawab Manusia Menurut Islam
2.6.1 Peran Manusia Menurut Islam
2.6.2 Tanggung Jawab Manusia Menurut Islam
2.6.3 Tujuan Manusia Menurut Islam
BAB 3 PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Manusia merupakan makhluk yang sangat menarik. Oleh karena itu, manusia dan berbagai hal dalam dirinya sering menjadi perbincangan diberbagai kalangan. Hampir semua lemabaga pendidikan tinggi mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya. Para ahli telah mencetuskan pengertian manusia sejak dahulu kala, namun sampai saat ini belum ada kata sepakat tentang pengertian manusia yang sebenarnya. Hal ini terbukti dari banyaknya sebutan untuk manusia, misalnya homo sapien (manusia berakal), homo economices (manusia ekonomi) yang kadangkala disebut Economical Animal (Binatang ekonomi), dan sebagainya.
Agama islam sebagai agama yang paling baik tidak pernah menggolongkan manusia kedalam kelompok binatang. Hal ini berlaku selama manusia itu mempergunakan akal pikiran dan semua karunia Allah SWT dalam hal-hal yang diridhoi-Nya. Namun, jika manusia tidak mempergunakan semua karunia itu dengan benar, maka derajat manusia akan turun, bahkan jauh lebih rendah dari seekor binatang. Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 179.
Sangat menariknya pembahasan tentang manusia inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengulas sedikit tentang Manusia Menurut Pandangan Islam.
1.2 Rumusan masalah
Untuk mengkaji dan mengulas tentang manusia dalam pandangan islam, maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian manusia menurut islam?
2. Bagaimana penciptaan manusia dalam islam?
3. Apa hakikat manusia menurut islam?
4. Apa kelebihan manusia dari makhluk lain?
5. Apa fungsi dan tanggung jawab manusia dalam islam?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas UTS agama Islam dan menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan masalah.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca tentang manusia dalam pandangan islam dan untuk membuat kita lebih memahami islam.
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hakikat Manusia
Hakekat Manusia: Perspektif IslamDari sudut pandang psikologi, pandangan tentang hakikat manusia mengarah pada sifat-sifat manusia (human nature), yaitu sifat-sifat khas (karakteristik) segenap umat manusia (Chaplin, 1997: 231). Hakekat manusia yang dimaksud dalam kajian ini ialah sesuatu yang esensial dan merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk yang dapat menjadikan manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya.Para pemikir Islam seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd (Muhaimin & Mujib, 1993) menyatakan bahwa manusia merupakan rangkaian utuh antara dua unsur, yaitu unsur yang bersifat materi (jasmani) dan unsur yang bersifat immateri (rohani). Pernyataan bahwa manusia merupakan rangkaian utuh antara dua unsur mengan-dung makna bahwa unsur-unsur tersebut merupakan satu totalitas yang tidak bisa dipisah-pisahkan, atau dengan kata lain tidak bisa dikatakan sebagai manusia jika salah satu diantara dua unsur tersebut tidak ada. Namun pembahasan ini hanya difokuskan pada unsur immateri (rohani) saja.Istilah yang sering disebut dalam Alquran untuk menggambarkan unsur manu-sia yang bersifat rohani adalah ruh dan nafs.1. RuhDalam surah al-Hijr ayat 28-29 Allah berfirman :
وإذ قال ربك للملـئكة اني خالق بشرا من صلصال من حمإ مسنون. فاذا سويـتـه ونفخت فيه من روحي فقعواله ساجدين
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”Sebagaimana yang digambarkan dalam ayat di atas, ruh adalah unsur terakhir yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia, dengan demikian dapat diambil pemaha-man bahwa ruh adalah unsur yang sangat penting karena merupakan unsur terakhir yang menyempurnakan proses penciptaan manusia. Ruh juga dikatakan sebagai bagian unsur yang mulia, hal ini tersirat dari perintah Allah kepada para malaikat (termasuk pula iblis) untuk sujud kepada manusia sebagai tanda penghormatan setelah dimasuk-kannya unsur ruh.Apakah ruh itu?. Pertanyaan ini pernah diajukan kepada Rasulullah saw sebagaimana yang tergambar dalam surah al-Isra’ ayat 85 sebagai berikut:
ويسئلونك عن الروح. قل الروح من امر ربي وما اوتـيـتم من العلم الا قليلا
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.Ayat di atas menyiratkan bahwa pengetahuan manusia tentang ruh sangat terbatas sehingga tidak mungkin dapat mengetahui hakikat ruh secara detail. Sekalipun ayat di atas menyatakan bahwa pengetahuan manusia tidak akan mencapai pemahaman yang rinci tentang hakikat ruh, tetapi tidak satupun terdapat ayat Alquran yang menghalangi atau melarang para ulama atau cendikiawan muslim untuk berusaha memahami hakikatnya (Syaltout, 1972). Pintu untuk menyelidiki tentang hakikat ruh masih terbuka dengan selebar-lebarnya (Surin, 1978).Mempelajari proses penciptaan manusia sebagaimana yang digambarkan da-lam Alquran, paling tidak akan memberikan sedikit pemahaman tentang sifat-sifat ruh sebagaimana yang dinyatakan oleh Ansari (1992: 3) sebagai berikut:Thus obvious that a direct and detail understanding of the nature of the ruh is not available. However, if we look at other relevant sections of the Qur’an which describe the process of creation, we might be able to obtain at least some understanding of its nature.Dalam memahami sifat-sifat ruh, ada beberapa ulama dan para sarjana muslim yang mencoba memahaminya dengan berpijak pada disiplin ilmunya masing-masing, mereka di antaranya sebagai berikut:Al-Qayyim (1991), dan Al-Razy (Ash-Shiddieqy, 1969 dan Hadi, 1981), ber-pendapat bahwa ruh adalah suatu jisim (benda) yang sifatnya sangat halus dan tidak dapat diraba. Ruh merupakan jisim nurani yang tinggi dan ringan, hidup dan selalu bergerak menembus dan menjalar ke dalam setiap anggota tubuh bagaikan menjalarnya air dalam bunga mawar. Jisim tersebut berjalan dan memberi bekas-bekas seperti gerak, merasa, dan berkehendak. Jika anggota tubuh tersebut sakit dan rusak, serta tidak mampu lagi menerima bekas-bekas itu, maka ruh akan bercerai dengan tubuh dan pergi ke alam arwah.Al-Ghazali (1989) membagi ruh dalam dua pengertian. Pertama, ruh yang bersifat jasmani yang merupakan bagian dari tubuh manusia, yaitu zat yang amat halus yang bersumber dari relung hati (jantung), yang menjadi pusat semua urat (pembuluh darah), yang mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak, serta merasakan ber-bagai rasa. Ruh ini dapat diibaratkan sebuah lampu yang mampu menerangi setiap sudut ruangan (organ tubuh). Ruh sering pula diistilahkan dengan nafs (nyawa). Kedua, ruh yang bersifat rohani yang merupakan bagian dari rohani manusia yang sifatnya halus dan gaib. Ruh ini memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengenal diri-nya sendiri, mengenal Tuhannya, dan memperoleh serta menguasai ilmu yang bermacam-macam. Ruh pula yang menyebabkan manusia berperikemanusiaan dan berakhlak sehingga memjadikannya berbeda dengan binatang.Syaltout (1972) berpendapat bahwa ruh adalah suatu kekuatan yang dapat menyebabkan adanya kehidupan pada makhluk seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ruh pada diri manusia disamping dapat memberikan kehidupan juga mem-berikan kemampuan kepada manusia untuk merasa dan berpikir. Hakekat ruh sulit ditangkap tetapi keberadaannya dapat dirasakan.Ansari (1992) menyatakan, salah satu kapasitas khusus yang hanya dimiliki oleh manusia -- tidak dimiliki oleh makhluk lain -- disebabkan karena adanya ruh adalah kemampuannya untuk memperoleh pengetahuan yang luas. Pernyataan Ansari tersebut didasarkan pada Alquran surah al-Baqarah ayat 31 sebagai berikut :
وعلم ادم الاسماء كلها ...
Artinya: Dan Dia (Allah) mengajarkan Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnyaAdam diajarkan oleh Allah swt berbagai nama-nama benda setelah unsur ruh ditiupkan kedalam tubuhnya, hal ini menyiratkan bahwa keberadaan unsur ruh menyebabkan manusia mempunyai kemampuan untuk menerima dan memperoleh pengetahuan yang luas.Pulungan (1984) menyatakan bahwa ruh adalah sumber kemanusiaan. Manusia merasa senang, cinta, benci, marah, bahagia, gembira, bermoral, berakhlak, mem-punyai rasa malu dan beradab, semuanya adalah akibat dari adanya ruh yang ditiupkan Allah pada tubuh manusia.Menurut Arifin (1994), keberadaan ruh pada diri manusia dapat menyebabkan tumbuh dan berkembangnya daging, tulang, darah, kulit, dan bulu, ruh pula yang menyebabkan tubuh manusia dapat bergerak, berketurunan, dan berkembangbiak. Di sampimg itu ruh pula yang membuat manusia dapat melihat, mendengar, merasa, berpikir, berkesadaran, dan berpengertian.Di samping ruh, istilah lain yang dijumpai dalam Alquran untuk menamakan unsur rohani manusia ialah nafs. Ruh dan nafs adalah dua buah istilah yang pada hakikatnya sama.2. NafsRuh dan nafs hakikatnya sama, diberi istilah yang berbeda adalah untuk membedakan sifat dan fungsinya masing-masing. Menurut Amjad (1992), istilah ruh hanya digunakan untuk menunjukkan unsur rohani manusia pada tingkatan yang lebih tinggi dari nafs, ruh dipandang sebagai dimensi khas insani yang merupakan sarana gaib untuk menerima petunjuk dan bimbingan Tuhan, serta mempunyai kesadaran tentang adanya Tuhan, sedangkan istilah nafs digunakan untuk menggambarkan unsur rohani manusia yang mengandung kualitas-kualitas insaniyah atau kemanusiaan.Dalam Alquran ditemukan tiga buah istilah yang dikaitkan dengan kata nafs, yaitu al-nafs al-mutma’innah seperti yang terdapat dalam surah al-Fajr ayat 27, al-nafs al-lawwamah seperti yang terdapat dalam surah al-Qiyaamah ayat 2, dan al-nafs laammaratun bi al-su’ seperti yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 53. Ketiga buah istilah yang dikaitkan dengan kata nafs tersebut menyiratkan adanya tiga buah pembagian kualitas unsur rohani yang terdapat pada manusia.Al-nafs al-mutma’innah secara etimologi berarti jiwa yang tenang, dinamakan jiwa yang tenang karena dimensi jiwa ini selalu berusaha untuk meninggalkan sifat-sifat tercela dan menumbuhkan sifat-sifat yang baik sehingga memperoleh ketenangan. Dimensi jiwa ini secara umum dinamakan qalb atau hati (Ahmad, 1992; Mujib, 1999).Al-nafs al-lawwamah secara literlik berarti jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri, maksudnya bila ia telah berbuat kejahatan maka ia menyesal telah melakukan perbuatan tersebut, dan bila ia berbuat kebaikan maka ia juga menyesal kenapa tidak berbuat lebih banyak (Departemen Agama RI, 1978; Surin, 1978). Dimensi jiwa ini dinamakan oleh para filosof Islam sebagai ‘aql atau akal (Ahmad, 1992; Mujib, 1999).Al-nafs laammaratun bi al-su’ secara harfiah berarti jiwa yang memerintah kepada kejahatan, yaitu aspek jiwa yang menggerakkan manusia untuk berbuat jahat dan selalu mengejar kenikmatan. Menurut para kaum sufi, dimensi jiwa ini dinamakan sebagai hawa atau nafsu (Sudewo, 1968; Ahmad, 1992; dan Mujib, 1999).Ahmad (1992) menyebutkan, meskipun unsur rohani manusia yang diistilah-kan dengan nafs disebut dengan tiga buah istilah yang berbeda-berbeda sehingga seolah-olah ketiganya berdiri sendiri-sendiri, namun hakikat ketiganya merupakan satu kesatuan. Ketiga buah istilah tersebut menggambarkan bahwa secara garis besar terdapat tiga buah fungsi dan sifat yang dimainkan oleh unsur rohani manusia.Senada dengan pendapat Ahmad yang menyimpulkan bahwa unsur rohani manusia hakikatnya satu, Arifin menyatakan:Dinamai ruh (jiwa), atau nafs (nyawa) dalam fungsinya menghidupkan, me-numbuhkan dan memperkembangbiakkan. Dinamai akal dalam fungsinya memikir (menyelidiki), mencari sebab akibat, mengingat dan menghayal. Dinamai hati atau kalbu dalam fungsinya merasa .… dinamai nafsu dalam fungsinya berkeinginan, berkehendak, berkemauan. (Arifin, 1994: 37)Pendapat Ahmad dan Arifin yang menyimpulkan bahwa unsur rohani manusia hakikatnya satu, diperkuat pula oleh pendapat Amjad sebagai berikut: “..… can be concluded that ruh is seen as a unity in all experience which is manifested in different ways in the human self” (Amjad, 1992: 44).Dari pendapat beberapa ulama dan sarjana muslim di atas, dapat diambil simpulan bahwa meskipun Alquran menggunakan istilah yang berbeda-beda dalam menggambarkan unsur rohani manusia, yaitu ruh dan nafs, namun unsur-unsur rohani tersebut hakikatnya satu, disebut dengan istilah yang berbeda adalah untuk membe-dakan sifat-sifat rohani manusia. Keberadaan unsur rohani tersebut menyebabkan ma-nusia dapat hidup dan bergerak, berpikir, merasa dan menyadari keberadaan dirinya, bahkan menyadari akan keberadaan sesuatu yang menciptakan dirinya, yaitu Tuhan.
3. QalbMenurut Ahmad (1992) dan Mujib (1999), qalb adalah istilah dari al-nafs al-mutma’innah yang digunakan di dalam Alquran untuk menggambarkan salah satu unsur potensi rohani yang dimiliki oleh manusia. Istilah qalb dapat dijumpai antara lain di dalam Alquran surah al-Hajj ayat 46 sebagai berikut:
افلم يسيروا فى الارض فـَكون لهم قلوب يعقلون بها او اذان يسمعون بـها فانـها لا تعمى الابصار ولكن تعمى القلوب التي فى الصدور
Artinya: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.Di samping Alquran surah al-Hajj ayat 46 di atas dapat pula dijumpai pada Hadis Rasulullah saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (1979: 19) sebagai berikut:
ان فى الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسد الجسد كله الا وهي القلب
Artinya: Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baik pula semua tubuhnya, dan jika ia rusak maka rusak pula semua tubuhnya, ingatlah! itulah yang dinamakan hati/qalb.Berdasarkan keterangan Alquran surah al-Hajj ayat 46 dan Hadis Rasu-lullah saw tersebut di atas, dapat diambil pemahaman bahwa qalb mempunyai arti fisik dan arti metafisik. Al-Ghazali (1984) dan Noersyam (1984) menyatakan, pengertian qalb menurut arti fisik adalah segumpal daging berbentuk lonjong yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri yang terus menerus berdetak selama manusia masih hidup. Qalb dalam pengertian fisik ini berfungsi untuk mengatur jalannya peredaran darah ke dalam seluruh tubuh. Qalb seperti ini terdapat pada manusia dan juga pada binatang. Adapun pengertian qalb secara metafisik, menurut Bastaman (1997), menunjuk kepada hati nurani atau suara hati.Memahami fungsi qalb dalam arti fisik sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Ghazali dan Noersyam di atas, dapat diambil simpulan bahwa yang dimaksud qalb tersebut adalah organ tubuh yang disebut jantung (heart) dan bukan menunjuk kepada organ tubuh yang disebut hati (lever) .Haq (1992) menyatakan bahwa qalb dalam arti fisik (jantung) merupakan titik tempat interaksi antara tubuh dengan qalb dalam arti metafisik (hati nurani). Interaksi tersebut secara psikologis dapat dirasakan, ketika kondisi psikologis seseorang dalam keadaan normal maka qalb (jantung) berdetak secara teratur, namun ketika kondisi psikologis seseorang sangat senang atau terlalu cemas maka detak qalb (jantung) menjadi cepat.Pembahasan tentang qalb dalam tulisan selanjutnya lebih mengarah kepada istilah qalb dalam pengertian metafisik, yaitu hati nurani atau suara hati.Kata Qalb ditransfer kedalam bahasa Indonesia menjadi kalbu yang berarti hati nurani. Kata qalb secara harfiah berarti berubah-rubah atau berbolak-balik, disebut demikian karena ia berpotensi untuk berbolak-balik, umpamanya dari perasaan senang menjadi susah, cinta menjadi benci, dari menerima menjadi menolak, dan sebagainya (Shihab, 1997). Qalb mempunyai nama-nama lain sesuai dengan aktivitasnya (Umary, 1989), ia dinamakan pula sebagai dhomir karena sifatnya yang tersembunyi, dinama-kan fu’ad karena merupakan tumpuan tanggung jawab manusia, dan dinamakan siir karena bertempat pada tempat yang rahasia dan sebagai muara bagi rahasia manusia.Hati nurani tidak akan mendustakan apa yang dilihatnya, ia selalu cenderung pada kebenaran. Pernyataan ini didasarkan atas firman Allah swt dalam surah an-Najm ayat 11 sebagai berikut:
ما كذب الفؤاد ما رأَى
Artinya: Hati nurani tidak mendustakan apa yang dilihatnya
Menurut Zamakhsyariy (Mujib, 1999), hati nurani diciptakan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia yaitu baik dan suci, dan berkecenderungan menerima kebenaran dari Tuhannya. Jika hati nurani berfungsi secara normal, maka kehidupan manusia menjadi sesuai dengan fitrah aslinya, yaitu baik dan suci, dan dengan demikian manu-sia akan beriman kepada Allah swt.Iman adalah masalah gaib yang tidak dapat dijangkau oleh dunia nyata atau pengalaman empiris semata, iman hanya dapat dijangkau dengan dunia rasa. Dunia rasa hanya dapat dijangkau melalui hati nurani yang terdapat dalam dada manusia, bukan dengan rasio atau otak yang terdapat di kepala manusia karena rasio atau otak manusia tidak mampu menjangkau hal-hal yang gaib, keterangan ini dapat dilihat di dalam Alquran surah al-Hujurat ayat 14:
قالت الاعرب آمنا. قل لم تؤمنوا ولكن قولوا اسلمنا ولـما يدخل الايمان في قلوبكم وإن تطيعوا الله ورسوله لاَ يلـتكم من أعمالكم شيئا ان الله غفور رحيم
Artinya: Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu”. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Hati nurani merupakan unsur rohani manusia yang sangat penting dan dipandang sebagai inti kemanusiaan yang dapat menjadikan manusia berbeda dengan binatang. Jika manusia tidak dapat menggunakan hati nuraninya maka dia tidak ada bedanya dengan binatang, bahkan bisa lebih sesat dari binatang sebagaimana yang dinyatakan dalam Alquran surah al-A’raf ayat 179.
... لهم قلوب لا يفقهون بها ولهم اعين لا يببصرون بها ولهم اذان لا يسمعون بها اولئك كالانعام بل هم اضل اولئك هم
الغافلون
Artinya: ... mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannnya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.Hati nurani dapat dikategorikan sebagai intuisi atau pandangan yang dalam yang mampu membawa manusia kepada kebenaran, dan sebagai sarana untuk mengenal kebenaran ketika penginderaan manusia tidak mampu memainkan perannya (Iqbal, 1981). Senada dengan Iqbal, Al-Ghazali (1984), Noersyam (1984), dan Raharjo (1987) menyatakan bahwa hati nurani manusia dapat menangkap rasa, mengetahui dan mengenal sesuatu, serta memperoleh ilmu mukasyafah, yaitu ilmu yang diperoleh melalui intuisi atau ilham, oleh karena itu, ketika memutuskan sesuatu (membentuk pendapat), hati nurani langsung menetapkannya tanpa proses panjang seolah-olah keputusan itu dilhamkan kepadanya.Memahami fungsi qalb seperti yang diuraikan di atas, istilah qalb dalam pengertian metafisik (hati nurani) nampaknya mirip dengan istilah conscience yang digunakan dalam istilah psikologi, yaitu sistem nilai moral seseorang, atau kesadaran akan benar dan salah dalam tingkah laku (Chaplin, 1997), atau dalam istilah Psikoanalisa dinamakan superego, yaitu kumpulan moral nilai etis yang diintroyek-sikan, yang telah diperoleh seseorang dari kedua orangtuanya. Tetapi berbeda dengan conscience dan superego, qalb di samping mengandung sistem nilai moral seseorang juga mengandung sistem nilai spiritual sehingga seseorang mampu merasakan keberadaan Tuhan, beriman dan dapat menerima kebenaran dari-Nya.
4. ‘AqlSecara etimologi ‘aql berarti mengikat/al-ribath, menahan/al-imsak, mela-rang/al-nahy, dan mencegah/man’u (Rasyidi & Cawidu, 1984). Berdasarkan mak-na bahasa ini, Mujib (1999) berpendapat bahwa yang disebut orang yang berakal (al-‘aqil) adalah orang yang mampu menahan dan mengikat dorongan-dorongan nafsunya, jika nafsunya terikat maka jiwa rasionalitasnya mampu bereksistensi sehingga manu-sia dapat menghindari perbuatan buruk atau jahat.‘Aql, ditransfer kedalam bahasa Indonesia menjadi akal dengan arti yang umum yaitu pikiran. Akal adalah subtansi yang bisa berpikir, dengan kata lain, ber-pikir adalah cara kerja dari akal, sehingga dapat dikatakan bahwa akal identik dengan pikiran, atau ratio dalam bahasa Latin, atau budi dalam bahasa Sansekerta, atau reason dalam bahasa Inggris.Mengutip pendapat al-Husain, Mujib (1999) menyatakan bahwa akal mem-punyai dua makna, yaitu: (1) akal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini yang biasanya disebut dengan otak (al-dimagh), (2) akal ruhani, yaitu suatu kemampuan jiwa yang dipersiapkan dan diberi kemampuan untuk mem-peroleh pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikat).Al-Ghazali (sebagaimana yang dikutip Basil, tanpa tahun) menyebutkan beberapa aktivitas akal, yaitu al-nazhar (melihat), al-tadabbur (memperhatikan), al-ta’ammul (merenungkan), al-i’tibar (menginterpretasikan), al-tafkir (memikirkan) dan al-tadakkur (mengingat). Apa yang dinyatakan oleh al-Ghazali mengenai aktivitas akal tersebut, dalam psikologi dikenal dengan istilah cognition (kognisi), yaitu sebuah konsep umum yang mencakup semua pengenalan, termasuk di dalamnya ialah menga-mati, melihat, memperhatikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, mem-pertimbangkan, berpikir, menduga dan menilai (Chaplin, 1997).Jika kerja qalb (hati nurani) dalam memutuskan sesuatu tanpa proses panjang seolah-olah keputusan itu dilhamkan kepadanya, dengan memperhatikan beberapa aktivitas akal di atas, maka dapat dipahami bahwa kerja akal dalam memutuskan sesuatu melalui jalan yang berliku-liku lewat proses yang disebut berfikir.Dalam Islam, akal diakui sebagai salah satu sarana yang sangat penting bagi manusia, bahkan diakui merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Alquran dan Hadis yang diistilahkan dengan ijtihad.Meskipun akal mempunyai kedudukan dan posisi yang sangat penting, namun akal bukan merupakan faktor utama yang dapat menjadikan manusia menjadi makhluk yang paling baik dan mulia, sebab akal tidak dapat menentukan dan menetapkan kebenaran tanpa adanya bimbingan syari’at (hukum agama) dan iman yang bersumber dari hati (qalb). Akal mampu untuk mengetahui bahwa Tuhan itu ada, namun akal tidak mampu mengantar manusia untuk merasa dekat dengan Tuhannya, yang mampu mendekati Tuhan adalah rasa yang menggunakan qalb sebagai sarananya. Di sampig itu, kebenaran yang diperoleh dari akal bersifat nisbi atau relatif sebagaimana yang diakui oleh para ilmuwan dan filosof.
5. HawaSecara literlik hawa berarti menuruti kehendak. Hawa sering pula diistilahkan dengan syahwat yang berarti nafsu, selera, atau keinginan (Munawwir, 1984: 801). Dalam bahasa Indonesia, hawa/syahwat diistilahkan dengan nafsu atau hawa nafsu.Nafsu merupakan karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia, dengan nafsu manusia bisa menikmati segala keindahan dan kenikmatan yang terdapat di alam ini, nafsu mendorong akal manusia untuk memikirkan cara-cara hidup yang lebih baik, dan nafsu pula yang mendorong manusia untuk hidup berkeluarga dan berketurunan. Dalam surah Ali Imran ayat 14 Allah swt berfirman:
زين للناس حب الشهوات من النسآء ِوالبنين والقناطير المقنـطرة مـن الذهب والفضة والخيل المسومة والانعام والحرث. ذلك متاع الحياة الدنيا والله عنده حسن الـمـاب
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat yang baik.Berdasarkan surah Ali Imran ayat 14 di atas, Al-Falimbani (1995) dan Muhammad (t.t.) membagi nafsu menjadi dua macam, yaitu nafsu seksual (syahwatul faraj) dan nafsu perut (syahwatul bathni). Nafsu seksual mendorong dan menyebabkan umat manusia berkembang dan berketurunan, sedang nafsu perut mendorong akal manusia untuk memikirkan cara-cara hidupnya yang lebih layak.Disamping nafsu seksual dan nafsu perut, Al-Ghazali (Sholeh, 1993) menye-butkan bahwa terdapat pula nafsu marah/angkara murka (ghadlab). Nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan apa saja atau menentang apa saja yang dianggap mengancam dan merugikan dirinya.
Manusia diperingatkan untuk selalu waspada terhadap sifat dan kekuatan nafsu yang selalu cenderung pada keburukan, jika tidak dikendalikan maka akan membuat manusia sesat. Dalam surah al-Jaatsiyah ayat 23 Allah swt berfirman:
افرأيت من اتخذ الـهه هوـه واضله الله على علم وخـتم على سمعـه وقلبه وجعل على بصره غشوة ؟ …
Artinya: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya ?…Keterangan lain yang menyatakan bahwa nafsu cenderung membawa dan mendorong manusia kedalam kesesatan dapat dilihat antara lain pada surah Maryam ayat 59, surah Thaha ayat 16, surah al-Qashash ayat 50, dan surah Shaad ayat 26.Surah al-Jaatsiyah ayat 23 di atas menjelaskan bahwa jika seseorang selalu memperturutkan hawa nafsunya, maka mata hatinya (qalb) serta penglihatannya (‘aql) akan tertutup, orang tersebut akan tersesat karena tidak mampu lagi membedakan antara yang baik dan yang buruk, atau antara yang benar dan yang salah.Secara psikologis, jika seorang manusia sekali melakukan kebaikan atau keja-hatan, maka kesempatannya untuk mengulangi perbuatan yang serupa semakin ber-tambah, sebaliknya, untuk melakukan perbuatan yang berlawanan semakin berkurang, dengan terus menerus melakukan kebaikan atau kejahatan, maka seorang manusia hampir tidak dapat melakukan perbuatan yang berlawanan, bahkan untuk sekedar memikirkannya (Fazlurrahman, 1996), dengan demikian, jika manusia selalu menuruti hawa nafsunya yang selalu mendorong kepada perbuatan jahat, maka hati nurani (qalb) serta penglihatannya (‘aql) akan “tertutup”Uraian tentang nafsu di atas menyiratkan bahwa apabila nafsu bekerja di bawah kontrol dan kendali hati dan akal, maka nafsu akan memberikan manfaat dan kebahagiaan kepada manusia, sebaliknya jika dorongan-dorongan nafsu terlalu kuat menguasai manusia sehingga hati dan akal tidak mampu mengontrol dan mengen-dalikannya, maka manusia akan tersesat dan celaka, nafsu seksual dan nafsu perut yang tidak terkendali akan menimbulkan “kerakusan”, sedang nafsu marah yang tidak terkendali akan menimbulkan “kebuasan”.Asal-usul kejadian manusia.
2.2 Asal Usul Manusia
Asal-usul kejadian manusia.
Generasi manusia yang ada sampai sekarang, dalah berasal dari manusia pertama yang bernama Adam dengan istrinya yang populer bernama Hawa[3]. Diantara ayat yang secara jelas menyatakan bahwa Adam dan Hawa adalah ayah dan ibu generasi manusia setelahnya, adalah:
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّة
“Hai anak-anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan, sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga” (QS. Al-A’raf : 27)
Adam sendiri diciptakan dari tanah sebagaimana diceritakan oleh Allah SWT dalam beberapa firman-Nya yang salah satunya pada firman berikut:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah adalah semisal Adam. Allah menciptakan-Nya dari tanah, kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah’ maka jadilah dia” (QS. Ali Imran : 59)
Ayat ini secara explisit merupakan bantahan terhadap para pengagum Isa as yang menilainya sebagai anak Tuhan, karena beliau tidak lahir melalui seorang ayah, melainkan melalui kalimat Allah. Tetapi secara implisit menjelaskan kejadian Isa as yang semisal dengan kejadian Adam as yaitu diciptakan dari tanah melalui proses yang mudah dan cepat sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kata ‘kun’ pada ayat di atas tidaklah benar bila dijadikan dasar bahwa Adam as diciptakan dalam sekejap tanpa proses sebagaimana yang difahami kebanyakan orang. Karena disamping dalam hal mencipta Allah SWT, tidak memerlukan sesuatu apapun untuk mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya, termasuk tidak perlu mengucapkan ‘kun’. Juga karena pada ayat yang lain Allah SWT melukiskan, bahwa Dia menciptakan Adam as dari tanah, dan setelah Dia sempurnakan kejadiannya, Dia tiupkan ruh ciptaan-Nya.
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِين
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya (Adam), dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”
(QS. al-Hijr :29)
Maka kata ‘kun’ pada ayat di atas, disebutkan hanyalah sekedar untuk menggambarkan kemudahan dan kecepatan wujud apa yang dikehendaki Allah SWT. Dan ayat tersebut, sama sekali tidak menjelaskan apa yang terjadi dan proses apa yang dilalui antara penciptaan dari tanah dengan penghembusan ruh ciptaan-Nya. Jika diibaratkan penciptaan dari tanah sama dengan A, dan penghembusan ruh ciptaan-Nya sama dengan Z, maka antara A dan Z tidak dijelaskan baik materi maupun waktunya.
Melalui ayat QS. Ali Imran : 59 pula, Allah SWT membantah keyakinan umat Nasrani yang bersikeras mengatakan bahwa tidak mungkin Isa as lahir tanpa memiliki seorang ayah. Karena Dzat yang mampu menciptakan Adam as tanpa seorang ayah dan seorang ibu, tentu saja lebih mampu untuk menciptakan Isa as dengan hanya dari seorang ibu. Dr. G.C. Goeringer, Direktur Kursus dan Profesor Kepala Embriologi Kedokteran di Departemen Biologi Sel Sekolah Kedokteran Universitas Georgetown Washington D.C mengatakan bahwa sains modern saat ini membuktikan bahwa banyak binatang dan makhluk hidup di dunia ini yang terlahir dan berkembang biak tanpa proses pembuahan pihak laki-laki (pejantan) dari spesiesnya. Sebagai contoh, seekor lebah jantan tidak lebih dari sekedar telur yang belum dibuahi, sedangkan telur yang telah dibuahi (oleh pejantannya) berkembang menjadi lebah betina (ratu). Selain itu, lebah-lebah jantan tercipta dari telur-telur ratu lebah yang tidak dibuahi oleh pejantannya. Ada banyak sekali contoh yang demikian di dunia hewan. Selain itu, manusia saat ini memiliki sarana sains untuk merangsang telur dari beberapa organisme sehingga telur-telur ini berkembang tanpa pembuahan dari pejantannya. Lebih lanjut Goeringer menyatakan: Dalam beberapa contoh pendekatan, telur-telur yang tidak dibuahi dari beberapa spesies amfibi dan mamalia tingkat rendah dapat diaktifkan secara mekanik (seperti penusukan dengan sebuah jarum), secara fisik (seperti kejutan panas), atau secara kimia dengan pencampuran dari beberapa substansi kimia yang berbeda, dan berlanjut ke tahap perkembangan. Dalam beberapa spesies, tipe perkembangan secara parthenogenetic seperti ini adalah alami.[4]
Selanjutnya kejadian generasi manusia setelah Adam as, penciptaannya diisyaratkan dalam ayat :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاء
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya. Allah mengembang biakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan” (QS. an-Nisa : 1)
Para Mufassir terdahulu memahami kata ‘nafsin wahidah’ (diri yang satu) pada ayat ini dalam arti Adam as. Akan tetapi para Mufassir kontemporer seperti al-Qasimi, Syekh Muhammad Abduh memaknainya dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita. Sehingga ayat ini kandungannya sama dengan firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (QS. al-Hujurat : 13)
Maka kedua ayat di atas pada prinsipnya berbicara sama yaitu tentang asal kejadian manusia dari seorang ayah dan ibu, yakni sperma ayah dan ovum ibu. Hanya tekanannya saja yang berbeda. Jika ayat pertama dalam konteks menjelaskan banyak dan berkembang biaknya manusia dari seorang ayah dan ibu, maka ayat kedua konteksnya adalah persamaan hakikat kemanusian orang perorang, dimana setiap orang walau berbeda-beda ayah dan ibunya, tetapi unsur dan proses kejadian mereka sama. Sehingga tidak dibenarkan seseorang menghina atau merendahkan orang lain.
Dengan memaknai kata ‘nafsin wahidah’ dalam arti diri (jenis) yang satu, Thabathaba’i dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat tersebut juga memberi penegasan bahwa pasangan (isteri Adam) yang ditunjuk kata ‘zaujaha’ diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam yakni dari tanah dan hembusan ruh Ilahi. Menurutnya sedikitpun ayat itu tidak mendukung faham yang beranggapan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagaimana yang difahami para Mufassir terdahulu.[5]
Akan halnya hadis riwayat Abi Hazm dari Abi Hurairah ra yang kerap digunakan untuk memperkuat faham itu, selain tertolak kesahihannya sehingga tidak dapat digunakan hujjah (argumentasi), juga – sebagaimana mayoritas ulama kontemporer mengatakan - hadis tersebut tidaklah tepat jika difahami dalam pengertian harfiah, melainkan harus difahami dalam pengertian metafora. Maka konteksnya dalam rangka mengingatkan kepada kaum laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, mengingat ada sifat dan kodrat bawaan mereka yang berbeda. Tidak ada seorangpun yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[6]
Walhasil makhluk yang bernama manusia, dari mulai manusia pertama Adam as dan istrinya Hawa, juga Isa as, serta generasi manusia setelahnya berasal dari bahan baku yang sama yaitu dari unsur tanah dan hembusan ruh Ilahi. Hanya model penciptaannya saja yang berbeda. Penciptaan manusia – sebagaimana disimpulkan Quraish Shihab – terdiri dari empat model penciptaan. Model pertama menciptakan dengan tanpa ayah dan ibu, yaitu Adam as. Kedua menciptakan setelah disampingnya ada lelaki, yaitu isteri Adam as. Model ketiga menciptakan hanya dengan ibu tanpa ada ayah, yaitu Isa as. Dan yang terakhir menciptakan melalui pertemuan lelaki dan perempuan yaitu generasi manusia setelah Adam as.[7]
Ali Syari’ati[8] menafsirkan tanah - sebagai salah satu unsur kejadian manusia - merupakan simbol kerendahan dan kenistaan, sedang unsur yang lain yaitu ruh Allah adalah simbol kemuliaan dan kesucian tertinggi. Yusuf Qardawi - sebagaimana dikutip Jalaluddin Rahmat[9] – membahasakan manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan ruh Ilahi (baina qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Manusia adalah zat bidimensional (bersifat ganda) terdiri atas sifat material (jasmani) dan sifat spiritual (ruhani). Sifat materialnya cenderung dan menarik manusia ke arah kerendahan, dan sifat spiritualnya mengarahkan dirinya menaiki puncak setinggi-tingginya. Satu hal yang menarik adalah kedua anasir yang bertentangan itu harus selalu berada dalam keseimbangan. Tidak boleh seseorang mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh. Begitu pula tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh.
Fase penciptaan manusia.
Proses penciptaan manusia dijelaskan Allah SWT dalam beberapa firman-Nya melalui berbagai fase atau tahapan. Salah satunya pada QS. Al-Mu’minun : 12-14 :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ * ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ * ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
(QS. al-Mu’minun : 12-14)
Terdapat munasabah (keserasian) dalam penempatan rangkaian ayat ini yang mengemukakan tujuh fase proses penciptaan manusia, setelah rangkaian ayat sebelumnya yang menguraikan tujuh macam sifat orang-orang mukmin. Seakan-akan kedua rangkaian ayat ini menyatakan kepada kita : “Wahai manusia, engkau berhasil keluar dan berada di pentas bumi ini setelah melalui tujuh fase, maka engkaupun perlu menghiasi diri dengan tujuh hal agar berhasil pula dalam kehidupan sesudah kehidupan dunia ini”.
Sungguh menakjubkan fase-fase penciptaan manusia yang dijelaskan secara detail oleh rangkaian ayat di atas, karena ternyata fase-fase yang dijelaskannya terbukti sejalan dengan penemuan ilmiah embriologi modern dewasa ini. Fase-fase itu adalah :
- ‘Sulalah min thin’ (saripati tanah).
Saripati tanah yang dimaksud – sebagaimana pendapat Thahir Ibn ‘Asyur – adalah zat yang diproduksi oleh alat pencernaan yang berasal dari bahan makanan (baik tumbuhan maupun hewan) yang bersumber dari tanah, yang selanjutnya menjadi darah, kemudian berproses hingga akhirnya menjadi sperma ketika terjadi hubungan sex.[10]
Pada ayat lain (QS. Al-Hajj : 5) fase ini disebutnya fase ‘turab’ (tanah)[11]. Pada ayat inipun yang dimaksud tanah adalah asal-usul sperma yaitu zat makanan yang berasal dari bahan makanan yang bersumber dari tanah. Karena itu Sayyid Quthub mengomentari kata ‘turab’ dengan mengatakan :
“Manusia adalah putri bumi ini. Dari tanahnya dia tumbuh berkembang, dari tanahnya dia berbentuk, dan dari tanahnya pula dia hidup. Tidak terdapat satu unsurpun dalam jasmani manusia yang tidak memiliki persamaan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam bumi, kecuali rahasia yang sangat halus itu yang ditiupkan Allah padanya dari ruh-Nya dan dengan ruh itu itulah manusia berbeda dari unsur-unsur tanah itu, tetapi pada dasarnya manusia berasal dari tanah. Makanan dan semua unsur jasmaninya berasal dari tanah”[12]
Makna asal kata ‘nuthfah’ dalam bahasa Arab berarti setetes yang dapat membasahi. Penggunaan kata ini sejalan dengan penemuan ilmiah yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin pria yang mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia, tetapi yang berhasil bertemu dengan ovum wanita hanya satu. Itulah yang dimaksud dengan nuthfah.[13]
- ‘Alaqah’ (segumpal darah).
Segumpal darah adalah salah satu arti kata ‘alaqah dari dua arti lainnya yaitu ‘sesuatu yang melayang’ dan ‘lintah’. Seorang ilmuwan terkenal dalam bidang anatomi dan embriologi Prof. Keith Moore menyatakan bahwa ‘alaqah sebagai ‘sesuatu yang melayang’ sesuai dengan apa yang bisa dilihat pada pengikatan embrio - selama fase ini - pada rahim ibu. Dan ‘alaqah diartikan ‘segumpal darah’ atau ‘gumpalan darah yang membeku’ karena embrio selama fase ini berkembang melalui saat-saat internal yang diketahui seperti pembentukan darah di pembuluh tertutup sampai dengan putaran metabolis lengkap melalui plasenta (ari-ari). Selama fase ini darah ditangkap di dalam pembuluh tertutup sehingga embrio memperoleh penampakan sebagai gumpalan darah beku. Sedang ‘alaqah diartikan ‘lintah’ oleh karena embrio selama fase ‘alaqah memperoleh penampakan yang sangat mirip dengan lintah. Prof. Keith Moore menguji dengan membandingkan lintah air yang masih segar dengan embrio pada fase ini dan beliau menemukan kesamaan diantara keduanya. Ketiga deskripsi tersebut secara ajaib diberikan hanya oleh sebuah kata dalam ayat al-Quran yaitu kata ‘alaqah.[14]
- ‘Mudghah’ (segumpal daging).
Mudhghah berasal dari kata madhagha yang berarti mengunyah. Pada fase ini embrio disebut mudhghah karena bentuknya masih dalam kadar yang kecil seukuran dengan sesuatu yang dikunyah.
‘Idzam (tulang atau kerangka).
Pada fase ini embrio mengalami perkembangan dari bentuk sebelumnya yang hanya berupa segumpal daging hingga berbalut kerangka atau tulang.
Kisa al-‘idzam bil-lahm (penutupan tulang dengan daging atau otot).
Pengungkapan fase ini dengan kisa yang berarti membungkus, dan lahm (daging) diibaratkan pakaian yang membungkus tulang, selaras dengan kemajuan yang dicapai embriologi yang menyatakan bahwa sel-sel tulang tercipta sebelum sel-sel daging, dan bahwa tidak terdeteksi adanya satu sel daging sebelum terlihat sel tulang[15].
- Insya (mewujudkan makhluk lain).
Fase ini mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang dianugerahkan kepada manusia yang menjadikannya berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Sesuatu itu adalah ruh ciptaannya yang menjadikan manusia memiliki potensi yang sangat besar sehingga dapat melanjutkan evolusinya hingga mencapai kesempurnaan makhluk.
Terminologi Manusia
Di dalam al-Quran terdapat tiga istilah kunci (key term) yang meskipun mengacu pada makna pokok manusia, tetapi memiliki makna signifikan yang berbeda-beda. Ketiga istilah kunci itu adalah Basyar, Insan, dan al-Nas. Agar terhindak dari kerancuan semantik, perlu difahami dalam konteks apa manusia disebut basyar, dan dalam konteks apa manusia disebut insan, serta dalam konteks apa pula manusia disebut al-nas.
Kata basyar disebut dalam al-Quran 35 kali dikaitkan dengan manusia dan 25 kali dihubungkan dengan nabi-rasul. Kata basyar pada keseluruhan ayat tersebut memberikan referensi kepada manusia sebagai makhluk biologis. Salah satunya pada surah Yusuf : 31 :
فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيم
“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepadanya (keelokan rupanya) dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia (basyar). Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia ”
(QS.Yusuf : 31)
Ayat ini menceritakan wanita-wanita pembesar Mesir yang diundang Zulaikha dalam suatu pertemuan yang takjub ketika melihat ketampanan Yusuf as. Konteks ayat ini tidak memandang Yusuf as dari segi moralitas atau intelektualitasnya, melainkan pada perawakannya yang tampan dan penampilannya yang mempesona yang tidak lain adalah masalah biologis.
Pada ayat lain juga manusia disebut dengan kata basyar dalam konteks sebagai makhluk biologis yaitu pada ayat yang menceritakan jawaban Maryam (perawan) kepada malaikat yang datang padanya membawa pesan Tuhan bahwa ia akan dikaruniai seorang anak :
قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَر
“Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak padahal aku tidak pernah disentuh manusia (basyar) ” (QS.Ali Imran : 47)
Maryam berkata demikian sebab dia tahu bahwa yang dapat menyentuh (hubungan seksual) itu hanya manusia dalam arti makhluk biologis, dan anak adalah buah dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan . Nalar Maryam tidak menerima, bagaimana mungkin dia akan punya anak padahal dia tidak pernah berhubungan dengan laki-laki.
Penolakan orang-orang kafir untuk beriman, juga karena pandangan mereka terhadap seorang rasul yang hanya pada sisi biologisnya saja. Yakni sebagai manusia yang sama seperti mereka yang makan, minum, jalan-jalan di pasar, dan melakukan aktifitas lainnya[16]. Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari seorang rasul seperti kapasitas, moralitas, kredibilitas kepribadiannya, dan akseptabilitas di mata umatnya. Karena itu Allah SWT menyuruh Rasulullah saw untuk menegaskan bahwa secara biologis ia memang seperti manusia biasa, tetapi memiliki perbedaan dari yang lain yaitu penunjukan langsung dari Tuhan untuk menyampaikan risalah-Nya. Dan dari sisi inilah Rasulullah menjadi manusia luar biasa.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَي
“Katakanlah (Muhammad kepada mereka bahwa) aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu. Hanya saja aku diberi wahyu” (QS.Al-Kahfi : 110)[17]
Beberapa ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat ketubuhan (biologis) manusia yang mempunyai bentuk/ postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani, makan, minum, melakukan hubungan seksual, bercinta, berjalan-jalan di pasar, dan lain-lain. Dengan kata lain, basyar dipakai untuk menunjuk dimensi alamiah yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya.
Kata al-insan disebut sebanyak 65 kali dalam al-Quran. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan kata insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk istimewa, secara moral maupun spiritual. Keistimewaan itu tidak dimiliki oleh makhluk lain. Jalaludin Rahmat memberi penjabaran al-insan secara luas pada tiga kategori. Pertama, al-insan dihubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifah dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif yang inheren dan laten pada diri manusia. Ketiga, al-insan disebut dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga, semua konteks al-insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Kategori pertama dapat difahami melalui empat penjelasan sebagai berikut :
1. Manusia dipandang sebagai makhluk unggulan atau puncak penciptaan Tuhan. Keunggulannya terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan[18]. Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih Tuhan[19] untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi.[20]
2. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah[21], suatu beban sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya dan diberi mandat untuk mengelola bumi. Menurut Fazlurrahman amanah yang dimaksud terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam, menguasainya (dalam bahasa al-Quran mengetahui nama-nama semua benda), dan kemudian menggunakannya dengan insiatif moral untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik[22]. Sedangkan menurut Thabathaba’i amanah dimaknai sebagai predisposisi positif (isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Dengan kata lain manusia didisposisikan sebagai pemikul al-wilayah al-Ilahiyah[23]. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebut sebagai perjanjian primordial atau perenial. Secara metaforis perjanjian itu digambarkan dalam QS. Al-A’raf : 172 :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belulang) anak cucu Adam keturunan mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman) : Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Kami bersaksi”
(QS.al-A’raf : 172)
3. Merupakan konsekuensi dari tugas berat sebagai khalifah dan pemikul amanah, manusia dibekali dengan akal kreatif yang melahirkan nalar kreatif sehingga manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan[24]. Karena itu berkali-kali kata al-insan dihubungkan dengan perintah melakukan nadzar (pengamatan, perenungan, pemikiran, analisa) dalam rangka menunjukkan kualitas pemikiran rasional dan kesadaran khusus yang dimilikinya[25].
Tugas kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi bahwa al-insan dibebani atau dihubungkan dengan konsep tanggung jawab[26] untuk melakukan yang terbaik. Manusia diwasiatkan agar berbuat baik[27] karena setiap amal perbuatannya dicatat dengan cermat dan mendapat balasan setimpal[28]. Dan dalam rangka ini, manusia diingatkan dengan sejumlah tantangan karena insanlah yang dimusuhi syetan[29] dan ditentukan nasibnya di hari kiamat[30].
4. Dalam mengabdi kepada Allah manusia (al-insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi psikologisnya. Jika ditimpa musibah ia selalu menyebut nama Allah. Sebaliknya jika mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup cenderung sombong, takabbur, dan musyrik.[31]
Kategori kedua al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif pada dirinya, dijelaskan dalam al-Quran bahwa manusia itu cenderung berbuat zalim dan kufur, tergesa-gesa, bakhil, bodoh, banyak membantah dan suka berdebat tentang hal-hal yang sepele sekalipun, resah gelisah dan enggan membantu orang lain, ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita, ingkar dan enggan berterima kasih kepada Tuhan, suka berbuat dosa dan meragukan hari akhirat[32].
Sifat-sifat manusia pada pada kategori kedua ini bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, memberi kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dan kekuatan yang saling bertentangan ; tarik menarik antara mengikuti fitrah (memikul amanah dan menjadi khalifah) dan mengikuti nafsu negatif dan merusak. Kedua kekuatan itu digambarkan dalam asal usul kejadian manusia yang dalam bahasa Yusuf Qardawi baina qabdhat al-tin wa nafkhat al-ruh.
Konsep al-Nas mengacu pada manusia sebagi makhluk sosial. Manusia dalam arti al-nas paling banyak disebut al-Quran yaitu sebanyak 240 kali. Salah satunya adalah :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Wahai manusia sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal”
(QS.al-Hujurat : 13)
Menariknya dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, al-Quran tidak pernah melakukan generalisasi, melainkan ditunjukkan dengan dua model pengungkapan :
Dengan menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan disertai karakteristik masing-masing yang berbeda satu sama lain. Ayat-ayatnya biasanya menggunakan ungkapan wa min al-nas (dan diantara manusia). Jika diperhatikan ayat-ayat yang menggunakan ungkapan ini ditemukan petunjuk bahwa ada kelompok manusia (tidak seluruhnya) yang mengaku beriman padahal sesungguhnya tidak beriman[33], ada sebagian manusia mengambil sesembahan selain Allah[34]. Juga didapat informasi bahwa manusia secara sosial cenderung memikirkan kehidupan dunia[35], berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah[36], yang menyembah Allah dengan iman yang lemah[37].
Dengan mengelompokkan manusia berdasarkan mayoritas yang umumnya menggunakan ungkapan aktsaran-nas (sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini ditemukan petunjuk dari al-Quran bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas rendah, dari sisi ilmu maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayatnya yang menyatakan bahwa kebanyakan manusia tidak berilmu, tidak bersyukur, tidak beriman, fasiq, melalaikan ayat-ayat Allah, kufur, dan harus menanggung azab. Kesimpulan itu dipertegas dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa sangat sedikit kelompok manusia yang beriman, yang berilmu dan dapat mengambil pelajaran, yang mau bersyukur atas nikmat Allah.
Demikian banyaknya penyebutan kata al-nas dalam al-Quran – jika dikaitkan dengan al-Quran sebagai petunjuk – menunjukkan bahwa sebagian besar bimbingan Tuhan diperuntukkan bagi manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai contoh adalah masalah perkawinan. Dalam al-Quran Tuhan tidak mengatur tata cara hubungan seksual, karena sebagai makhluk biologis semua manusia betapapun primitifnya bisa melakukannya. Justru yang dipandang perlu untuk diatur Tuhan adalah hubungan sosial pasca perkawinan meliputi hak, kewajiban, tanggung jawab suami istri dalam rumah tangga dan hubungan yang terjadi setelah berkeluarga mencakup pendidikan anak, kekerabatan, warisan dan masalah yang berkaitan dengan kekayaan. Perlunya pengaturan karena pada aspek-aspek sosial manusia sering kelewat batas dan tak terkendali.
2.2 Pengertian Manusia
Pengertian Manusia
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah swt. Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka dumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah.
Membicarakan tentang manusia dalam pandangan ilmu pengetahuan sangat bergantung metodologi yang digunakan dan terhadap filosofis yang mendasari.
Para penganut teori psikoanalisis menyebut manusia sebagai homo volens (makhluk berkeinginan). Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki perilaku interaksi antara komponen biologis (id), psikologis (ego), dan social (superego). Di dalam diri manusia tedapat unsur animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai).
Para penganut teori behaviorisme menyebut manusia sebagai homo mehanibcus (manusia mesin). Behavior lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (aliran yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan subjektif dan psikoanalisis (aliran yang berbicara tentang alam bawa sadar yang tidak nampak). Behavior yang menganalisis prilaku yang Nampak saja. Menurut aliran ini segala tingkah laku manusia terbentuk sebagai hasil proses pembelajaran terhadap lingkungannya, tidak disebabkan aspek.
Para penganut teori kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia berpikir). Menurut aliran ini manusia tidak di pandang lagi sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya, makhluk yang selalu berfikir. Penganut teori kognitif mengecam pendapat yang cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak mempengaruhi peristiwa. Padahal berpikir , memutuskan, menyatakan, memahami, dan sebagainya adalah fakta kehidupan manusia.
Dalam al-quran istilah manusia ditemukan 3 kosa kata yang berbeda dengan makna manusia, akan tetapi memilki substansi yang berbeda yaitu kata basyar, insan dan al-nas.
Kata basyar dalam al-quran disebutkan 37 kali salah satunya al-kahfi : innama anaa basyarun mitlukum (sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu). Kata basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis, seperti asalnya dari tanah liat, atau lempung kering (al-hijr : 33 ; al-ruum : 20), manusia makan dan minum (al-mu’minuum : 33).
Kata insan disebutkan dalam al-quran sebanyak 65 kali, diantaranya (al-alaq : 5), yaitu allamal insaana maa lam ya’ (dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya). Konsep islam selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dfan memikul amanah (al-ahzar : 72). Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju ke arah kesempurnaan.
Kata al-nas disebut sebanyak 240 kali, seperti al-zumar : 27 walakad dlarabna linnaasi fii haadzal quraani min kulli matsal (sesungguhnya telah kami buatkan bagi manusia dalam al-quran ini setiap macam perumpamaan). Konsep al-nas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk social atau secara kolektif.
Dengan demikian Al-Quran memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan social. Manusia sebagai basyar, diartikan sebagai makhluk social yang tidak biasa hidup tanpa bantuan orang lain dan atau makhluk lain.
Sebenarnya manusia itu terdiri dari 3 unsur yaitu :
1. Jasmani. Terdiri dari air, kapur, angin, api dan tanah.
2. Ruh. Terbuat dari cahaya (nur). Fungsinya hanya untuk menghidupkan jasmani saja.
3. Jiwa. Manusia memiliki fitrah dalam arti potensi yaitu kelengkapan yang diberikan pada saat dilahirkan ke dunia. Potensi yang dimiliki manusia dapat di kelompokkan pada dua hal yaitu potensi fisik dan potensi rohania. Ibnu sina yang terkenal dengan filsafat jiwanya menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk social dan sekaligus makhluk ekonomi. Manusia adalah makhluk social untuk menyempurnakan jiwa manusia demi kebaikan hidupnya, karena manusia tidak hidup dengan baik tanpa ada orang lain. Dengan kata lain manusia baru bisa mencapai kepuasan dan memenuhi segala kepuasannya bila hidup berkumpul bersama manusia.
2.3.1 Pengertian Manusia Menurut Para Ahli
Berikut ini adalah pengertian dan definisi manusia menurut beberapa ahli:
- NICOLAUS D. & A. SUDIARJA
Manusia adalah bhineka, tetapi tunggal. Bhineka karena ia adalah jasmani dan rohani akan tetapi tunggal karena jasmani dan rohani merupakan satu barang
Manusia adalah "tubuh yang berjiwa" dan bukan "jiwa abadi yang berada atau yang terbungkus dalam tubuh yang fana"
Manusia adalah kombinasi dari unsur-unsur roh (atman), jiwa, pikiran, dan prana atau badan fisik
Manusia adalah mahluk hidup berkaki dua yang tidak berbulu dengan kuku datar dan lebar
Manusia adalah suatu mahluk yang terdiri dari 2 unsur yang kesatuannya tidak dinyatakan
Manusia adalah mahluk yang dinamis dengan trias dinamikanya, yaitu cipta, rasa dan karsa
- OMAR MOHAMMAD AL-TOUMY AL-SYAIBANY
Manusia adalah mahluk yang paling mulia, manusia adalah mahluk yang berfikir, dan manusia adalah mahluk yang memiliki 3 dimensi (badan, akal, dan ruh), manusia dalam pertumbuhannya dipengaruhi faktor keturunan dan lingkungan
Manusia adalah mahluk sebaik-baiknya ciptaan-Nya. Bahkan bisa dibilang manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan mahluk yang lain
manusia adalah mahluk terbuka, bebas memilih makna dalam situasi, mengemban tanggung jawab atas keputusan yang hidup secara kontinu serta turut menyusun pola berhubungan dan unggul multidimensi dengan berbagai kemungkinan
2.3.2 Pengertian Manusia Menurut Agama Islam
Pengertian Manusia Menurut Ajaran Islam
Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.
Penggolongan manusia yang paling utama adalah berdasarkan jenis kelaminnya. Secara alamiah, jenis kelamin seorang anak yang baru lahir entah laki-laki atau perempuan. Anak muda laki-laki dikenal sebagai putra dan laki-laki dewasa sebagai pria. Anak muda perempuan dikenal sebagai putri dan perempuan dewasa sebagai wanita.
Penggolongan lainnya adalah berdasarkan usia, mulai dari janin, bayi, balita, anak-anak, remaja, akil balik, pemuda/i, dewasa, dan (orang) tua. Selain itu masih banyak penggolongan-penggolongan yang lainnya, berdasarkan ciri-ciri fisik (warna kulit, rambut, mata; bentuk hidung; tinggi badan), afiliasi sosio-politik-agama (penganut agama/kepercayaan XYZ, warga negara XYZ, anggota partai XYZ), hubungan kekerabatan (keluarga: keluarga dekat, keluarga jauh, keluarga tiri, keluarga angkat, keluarga asuh; teman; musuh) dan lain sebagainya.
Manusia adalah makhluk Allah SWT yang memiliki unsur dan daya materi, tumbuh-tumbuhan, hewan, yang memiliki jiwa dengan ciri-ciri berfikir, berakal, dan bertanggung jawab pada Allah SWT yang diciptakan dengan memiliki akhlak, yang meneladani akhlak Allah SWT dalam kadar yang amat rendah ( yatakhallaqu bi akhlaqillah ). Manusia diciptakan Allah SWT dalam arti Majazi bukan hakekat.
Manusia merupakan makhluk yang sempurna dan mulia. Manusia merupakan makhluk yang unik, sebagai makhluk yang paling sempurna, baik kejadian fisiknya maupun rohaniahnya. Selain sebagai makhluk yang paling sempurna manusia juga dijadikan Allah SWT sebgai makhluk yang memiliki kemuliaan dan keluhuran. Sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia dimintai pertanggunjawaban terhadap amanah yang diberikan padanya untuk mengelola alam semesta bagikesejahteraan semua makhluk.
Setiap manusia menurut pandangan Islam adalah pemimpin, sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Setiap pemimpin bertanggungjawab terhadap apa yang dipimpinnya, baik lahir maupun batin, di dunia maupun diakhirat. Disebabkan manusia memiliki akal dan kalbu, maka ia dijadikan sebagaikhalifah dan sekaligus hamba Allah. Khalifah mengandung makna bahwa Allah menjadikan manusia sebagai pemegang kekuasaan untuk melaksanakan syariat-Nya dibumi. Sebagai hamba Allah, manusia dijadikan makhluk beribadah pada-Nya. Akhlak merupakan salah satu ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Kedudukan dan kemuliaan manusia ditentukan oleh akhlaknya. Tegak runtuhnya suatu bangsa juga ditentukan oleh akhlaknya.
Salah satu kunci sukses dari perjuangan Nabi Muhammad SAW adalah terletak pada kemuliaan dan keluhuran akhlaknya. Demikian tingginya akhlak SAW sehingga SWT memujinya dalam al-Quran. Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.´ (QS. al-Qalam, 68:4).
2.4 Proses Penciptaan Manusia Dalam Agama Islam
Penciptaan Manusia Dalam Agama Islam
Sejarah Proses Penciptaan Manusia Dalam Al-Qur'an- Para ahli dari barat baru menemukan masalah pertumbuhan embrio secara bertahap pada tahun 1940 dan baru dibuktikan pada tahun 1955, tetapi dalam Al Qur’an dan Hadits yang diturunkan 15 abad lalu hal ini sudah tercantum. Ini sangat mengagumkan bagi salah seorang embriolog terkemuka dari Amerika yaitu Prof. Dr. Keith Moore, beliau mengatakan : “Saya takjub pada keakuratan ilmiah pernyataan Al Qur’an yang diturunkan pada abad ke-7 M itu”. Dokter ahli kandungan nomor satu di dunia menyebutkan, bahwa semua yang disebutkan di dalam Al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah SAW tentang proses penciptaan manusia adalah sesuai dengan yang ditemukan pada ilmu pengetahuan modern.
Tahapan Pertama
- NUTFAH : Yaitu tahapan pertama bermula selepas persenyawaan atau minggu pertama. Dimulai setelah berlakunya percampuran air mani
Maksud firman Allah dalam surah al-Insan : 2
” Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia daripada setitis air mani yang bercampur yang Kami (hendak mengujinya dengan perintah dan larangan), kerana itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat “
Menurut Ibn Jurair al-Tabari, asal perkataan nutfah ialah nutf artinya air yang sedikit yang terdapat di dalam sesuatu bekas samada telaga, tabung dan sebagainya. Sementara perkataan amsyaj berasal daripada perkataan masyj yang bererti percampuran
Berasaskan kepada makna perkataan tersebut maksud ayat di atas ialah sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan manusia daripada air mani lelaki dan air mani perempuan.
Daripada nutfah inilah Allah menciptakan anggota-anggota yang berlainan, tingkah laku yang berbeda serta menjadikan lelaki dan perempuan. Daripada nutfah lelaki akan terbentunya saraf, tulang dan fakulti , manakala dari nutfah perempuan akan terbentuknya darah dan daging.
Tahapan Kedua
- ALAQAH : Peringkat pembentukan alaqah ialah pada hujung minggu pertama / hari ketujuh . Pada hari yang ketujuh telor yang sudah disenyawakan itu akan tertanam di dinding rahim (qarar makin). Selepas itu Kami mengubah nutfah menjadi alaqah.
Firman Allah :
” Kemudian Kami mengubah nutfah menjadi alaqah” (al-Mukminun : 14)
Kebanyakan ahli tafsir menafsirkan alaqah dengan makna segumpal darah. Ini mungkin dibuat berasaskan pandangan mata kasar. Alaqah sebenarnya suatu benda yang amat seni yang diliputi oleh darah. Selain itu alaqah mempunyai beberapa maksud :
• sesuatu yang bergantung atau melekat
• pacat atau lintah
• suatu buku atau ketulan darah
Peringkat alaqah adalah peringkat pada minggu pertama hingga minggu ketiga di dalam rahim.
Tahapan Ketiga
- MUDGHAH : Pembentukan mudghah dikatakan berlaku pada minggu keempat. Perkataan mudghah disebut sebanyak dua kali di dalam al-Quran iaitu surah al-Hajj ayat 5 dan surah al-Mukminun ayat 14
Firman Allah :
“lalu Kami ciptakan darah beku itu menjadi seketul daging” (al-Mukminun : 14)
Diperingkat ini sudah berlaku pembentukan otak, saraf tunjang, telinga dan anggota-anggota yang lain. Selain itu sistem pernafasan bayi sudah terbentuk.Vilus yang tertanam di dalam otot-otot ibu kini mempunyai saluran darahnya sendiri. Jantung bayi pula mula berdengup. Untuk perkembangan seterusnya, darah mula mengalir dengan lebih banyak lagi kesitu bagi membekalkan oksigen dan pemakanan yang secukupnya. Menjelang tujuh minggu sistem pernafasan bayi mula berfungsi sendiri.
Tahapan Keempat
- IZAM DAN LAHM : Pada tahapan ini iaitu minggu kelima, keenam dan ketujuh ialah tahapan pembentukan tulang yang mendahului pembentukan oto-otot. Apabila tulang belulang telah dibentuk, otot-otot akan membungkus rangka tersebut.
Firman Allah:
“Lalu Kami mengubahkan pula mudghah itu menjadi izam da kemudiannya Kami membalutkan Izam dengan daging” (al-Mukminun : 14)
Kemudian pada minggu ketujuh terbentuk pula satu sistem yang kompleks. Pada tahap ini perut dan usus , seluruh saraf, otak dan tulang belakang mula terbentuk. Serentak dengan itu sistem pernafasan dan saluran pernafasan dari mulut ke hidung dan juga ke pau-paru mula kelihatan. Begitu juga dengan organ pembiakan, kalenjar, hati, buah penggang, pundi air kencing dan lain-lain terbentuk dengan lebih sempurna lagi. Kaki dan tangan juga mula tumbuh. Begitu juga mata, telinga dan mulut semakin sempurna. Pada minggu kelapan semuanya telah sempurna dan lengkap.
Tahapan Kelima
- NASY’AH KHALQAN AKHAR : Pada tahapan ini yaitu menjelang minggu kedelapan, beberapa perubahan lagi berlaku. Perubahan pada tahap ini bukan lagi embrio tetapi sudah masuk ke peringkat janin. Pada bulan ketiga, semua tulang janin telah terbentuk dengan sempurnanya Kuku-kukunya pun mula tumbuh. Pada bulan keempat, pembentukan uri menjadi cukup lengkap menyebabkan baki pranatel bayi dalam kandungan hanya untuk menyempurnakan semua anggota yang sudah wujud. Walaupun perubahan tetap berlaku tetapi perubahannya hanya pada ukuran bayi sahaja.
Tahapan Ke Enam
- NAFKHUR-RUH : Yaitu tahap peniupan roh. Para ulamak Islam menyatakan bilakah roh ditiupkan ke dalam jasad yang sedang berkembang? Nilai kehidupan mereka telah pun bermula sejak di alam rahim lagi. Ketika di alam rahim perkembangan mereka bukanlah proses perkembangan fizikal semata-mata tetapi telahpun mempunyai hubungan dengan Allah s.w.t melalui ikatan kesaksian sebagaimana yang disebutkan oleh Allah di dalam al-Quran surah al-A’raf : 172. Dengan ini entiti roh dan jasad saling bantu membantu untuk meningkatkan martabat dan kejadian insan disisi Allah s.w.t. (Dari berbagai sumber)
2.4.1 Penciptaan Manusia Menurut Al-Qur’an
Menurut qur'an manusia diciptakan untuk membuat kerusakan di muka bumi. Malaikat sudah tahu hal ini, dan Allah pun juga sudah tahu. Kagak heran muslim sering jadi biang kerok pengrusakan dan pembakaran milik orang lain/umat lain.
Kutip
Al Baqarah 30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
2.4.2 Penciptaan Manusia Menurut Bibel
Menurut bibel, manusia diciptakan baik dan sempurna, sebagai penguasa (khalifah) bumi mewakili Allah, menyelenggarakan kehidupan di bumi dalam berkat damai sejahtera Allah atas bumi dan segala ciptaanNya.
Kutip
Gen 1:26 Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."
Gen 1:27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Gen 1:31 Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.
2.5 Kelebihan Manusia Dari Makhluk Lain
Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak adam (manusia) dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami melebihkan mereka atas makhluk-makhluk yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang menonjol ( QS. Al Isra 70).
Pada prinsipnya, malaikat adalah makhluk yang mulia. Namun jika manusia beriman dan taat kepada Allah SWT ia bisa melebihi kemuliaan para malaikat. Ada beberapa alasan yang mendukung pernyataan tsb.
Pertama, Allah SWT memerintahkan kepada malaikat untuk bersyujud (hormat) kepada Adam as. Allah berfirman saat awal penciptaan manusia ;
“Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada Malaikat, sujudlah kamu kepada adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan ia adalah termasuk golongan kafir. ( QS. Al Baqarah 34).
Kedua, malaikat tidak bisa menjawab pertanyaan Allah tentang al asma (nama-nama ilmu pengetahuan) sedangkan Adam mampu karena memang diberi ilmu oleh Allah SWT.
“ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman, Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang golongan yang benar. Mereka menjawab, Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami katahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman, Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini. Maka setelah diberitahukannya nama-nama benda itu, Allah berfirman, Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.” (Q S. Al Baqarah 33)
Ketiga, kepatuhan malaikat kepada Allah SWT karena sudah tabiatnya, sebab malaikat tidak memiliki hawa nafsu sedangkan kepatuhan manusia pada Allah SWT melalui perjuangan yang berat melawan hawa nafsu dan godaan syetan.
Keempat, manusia diberi tugas oleh Allah menjadi khalifah dimuka bumi, “Ingatlah ketika Tuhan mu berfirman kepada para malaikat, : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi…”(QS.Al Baqarah 30)
Melihat pembahasan di atas, terlihat bahwa manusia memiliki kelebihan dari makhluk lain. Karena sebagai mana kita ketahui, Allah telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang mulia. Atas dasar fakta-fakta di atas, sudah sewajarnyalah, kita sebagai manusia (makhluk ciptaan Allah) senantiasa bersyukur atas karunia dan kasih sayang-Nya. Salah satu kunci kesuksesan adalah bersyukur.
KELEBIHAN MANUSIA DIBANDINGKAN
(Malaikat, Jin, Hewan, Iblis/Setan)
1. MANUSIA
Fisik amat sempurna
Dimensi spiritual, emosional, intelektual dan syahwat
Visi dan misi untuk beribadah kepada Tuhan Pencipta dengan pilihan sebagai Khalifah/wakil Allah.
2. MALAIKAT
Fisik tidak nyata (halus)
Dimensi Akal
Visi dan misi untuk beribadah kepada Tuhan Pencipta secara sukarela sebagai Prajurit Allah.
3. JIN
Fisik tidak nyata (Halus)
Dimensi akal dan syahwat
Visi dan misi untuk beribadah kepada Tuhan Pencipta dengan pilihan
4. HEWAN
Fisik
Dimensi Nafsu dan Naluri (Insting)
Visi dan misi untuk beribadah kepada Tuhan Pencipta berdasarkan insting
5. IBLIS/SETAN
Fisik tidak nyata (halus)
Dimensi akal dan nafsu
Visi dan misi untuk menyesatkan manusia dengan pilihan
Analisis bukti kelebihan manusia dibanding makhluk lain :
Manusia pada hakekatnya sama saja dengan mahluk hidup lainnya, yaitu memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuannya dengan didukung oleh pengetahuan dan kesadaran. Perbedaan diantara keduanya terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran dan keunggulan yang dimiliki manusia dibanding dengan mahluk lain.
Manusia sebagai salah satu mahluk yang hidup di muka bumi merupakan mahluk yang memiliki karakter paling unik. Manusia secara fisik tidak begitu berbeda dengan binatang, sehingga para pemikir menyamakan dengan binatang. Letak perbedaan yang paling utama antara manusia dengan makhluk lainnya adalah dalam kemampuannya melahirkan kebudayaan. Kebudayaan hanya manusia saja yang memlikinya, sedangkan binatang hanya memiliki kebiasaan-kebiasaan yang bersifat instinctif.
Dibanding dengan makhluk lainnya, manusia mempunyai kelebihan yang membedakannya dengan makhluk lainnya. Kelebihan manusia adalah kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang bagaimanapun, baik di darat, di laut, maupun di udara. Sedangkan binatang hanya mampu bergerak di ruang yang terbatas. Walaupun ada binatang yang bergerak di darat dan di laut, namun tetap saja mempunyai keterbatasan dan tidak bisa melampaui manusia.
Diantara karakteristik manusia adalah :
1.Aspek Kreasi
2.Aspek Ilmu
3.Aspek Kehendak
4.Pengarahan Akhlak
Kelebihan-kelebihan tersebut tidak diberikan Allah kepada makhluk lain selain manusia dan telah pula menyebabkan mereka memperoleh kemualiaan-Nya. Allah menjelaskannya:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.S. Al-Isra’ (17):70)
Pendapat dari seorang doktor
(Sumber: http://priyayimuslim.multiply.com/journal/item/313/Humanize)
“Manusia,” kata Dr. Irwan Prayitno, “Adalah makhluk Allah yang terdiri dari ruh dan tanah yang dilengkapi dengan potensi hati, akal, dan jasad. Potensi manusia ini memiliki kelebihan dan keutamaan dibanding makhluk lainnya. Dengan hati, manusia berniat. Dengan akal, manusia berilmu. Dengan jasad, manusia beramal. Kelebihan dan kemuliaan manusia ini disediakan untuk menjalankan amanah beribadah dan menjalankan fungsi khilafah di muka bumi. Peranan dan tugas yang dilakukan ini akan mendapatkan balasan yang sesuai.”
Analisis konsekuensi dari kelebihan manusia dibanding makhluk lain:
Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia selama mereka memanfaatkan secara optimal tiga keistimewaan/ kelebihan yang mereka miliki yakni, Spiritual, Emotional dan Intellectual dalam diri mereka sesuai misi dan visi penciptaan mereka. Namun, apabila terjadi penyimpangan misi dan visi hidup, mereka akan menjadi makhluk yang paling hina, bahkan lebih hina dari binatang dan Iblis bilamana mereka kehilangan kontrol atas ketiga keistimewaan yang mereka miliki. Penyimpangan misi dan visi hidup akan menyebabkan derajat manusia jatuh di mata Tuhan Pencipta dan di dunia, pola hidup mereka lebih buruk dari pada binatang dan Iblis.
Allah menjelaskan dalam firman-Nya “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergukan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-A’raf : 179).
Peran yang hendaknya dilakukan seorang khalifah sebagaimana yang telah ditetapkan Allah, diantaranya adalah :
1.Belajar (surat An naml : 15-16 dan Al Mukmin :54) belajar yang dinyatakan pada ayat pertama surat al Alaq adalah mempelajari ilmu Allah yaitu Al Qur’an.
2.Mengajarkan ilmu (al-Baqoroh:31-39) ilmu yang diajarkan oleh khalifatullah bukan hanya ilmu yang dikarang manusia saja, tetapi juga ilmu Allah.
3.Membudayakan ilmu (al Mukmin : 35) Ilmu yang telah diketahui bukan hanya untuk disampaikan kepada orang lain melainkan dipergunakan untuk dirinya sendiri dahulu agar membudaya. Seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW.
Analisis sifatnya yang Haluu’aa (Keluh Kesah Lagi Kikir)
Surat Al-Ma’arij 19-25, kurang lebih artinya gini :
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat mengeluh (19) Jika mendapat keburukan berkeluh kesah (20) Dan jika mendapat kebaikan menjadi kikir (21) Kecuali orang yang shalat (22) Yang mereka selalu pada shalat mereka (23) Dan yang pada harta-harta mereka diberikan untuk orang-orang yang berhak (24) Kepada orang yang meminta dan yang tidak (25) Dan yang membenarkan kepada hari kiamat (26) Dan mereka yang takut kepada siksa Tuhan mereka (27) Sesungguhnya siksa Tuhan mereka tiada membuat aman (28) Dan mereka yang mejaga kemaluannya (29) Kecuali pada istri-istri mereka atau budak yang mereka punya, maka sungguh mereka tiada tercela (30) Maka barangsiapa yang mencari di luar itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas (31) Dan mereka yang menjaga tanggungjawab dan janji mereka (32) Dan mereka yang mendirikan kesaksian mereka (33) Dan mereka yang memelihara shalat mereka (34) Mereka semua termuliakan di dalam surga (35)
2.6 Peran,Dan Tanggung Jawab Manusia Menurut Islam
1. Peran dan Tanggungjawab Manusia
Membincangkan maslah peran dan tanggungjawab manusia, erat hubungannya dengan istilah khalifah seperti disebutkan dibeberapa ayat al-Qur’an. Menurut Dawam Raharjo dalam bukunya Ensiklopedi al-Qur’an, kata khalifah yang cukup dikenal di Indonesia mengandung makna ganda. Di satu pihak, khalifah dimengerti sebagai Kepala Negara dalam pemerintahan seperti Kerajaan Islam di masa lalu, dan di lain pihak pula pengertian khalifah sebagai ‘wakil Tuhan” di muka bumi.[2]
Yang dimaksud dengan “wakil Tuhan” itu- masih menurut M. Dawam Raharjo- bisa mempunyai dua pengertian; Pertama, yang diwujudkan dalam jabatan pemerintahan seperti kepala negara, kedua, dalam pengertian fungsi manusia itu sendiri di muka bumi.[3]
Adapun khalifah dalam tulisan ini lebih condong kepada pengertian khalifah yang kedua yaitu “wakil Tuhan” yang berhubungan dengan fungsi dan tanggungjawab manusia di muka bumi yang mengemban amanat Tuhan.
Pembatasan ini dimaksudkan adalah untuk tidak membatasi fungsi manusia yang hanya tertumpu kepada kepemimpinan yang formal atau kekuasaan. Sebab dalam mengemban amanat tidak harus selalu dalam bentuk kekuasaan atau menjadi pemimpin. Pada dasarnya, semua manusia mempunyai kewajiban untu menyampaikan kebenaran. Landasan kajian ini adalah berdasar pada Firman Allah yang artinya
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”.[4]
Dan ayat yang artinya:
“Sungguh Kami telah tawarkan amanat kepada langi, bumi dan gunung-gunung. Tapi mereka enggan memikulnya, karena takut akan mengkhianatinya. Tapi manusia (bersedia) memikulnya. Ia sungguh zhalim dan bodoh sekali”.[5]
Dari kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa khalifah adalah sebuah fungsi yang diemban manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah. Ke-khalifahan merupakan amanat atau tugas mengelola bumi secara bertanggungjawab, dan harus sesuai dengan petunjuk dari yang memberikan tugas tersebut dengan mempergunakan akal yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.
Menurut Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar –mengutip pendapat al-Qurtubi- amanat yang ditugaskan Allah kepada manusia sungguh berat, hal ini terbukti pada penolakan langit dan bumi serta gunung-gunung ketika ditawarkan untuk memikulnya dan mengemban amanat tersebut.[6]
Penawaran dan penolakan amanat tersebut dipahami oleh banyak ulama dalam arti kiasan atau majaz. Namun ada juga yang memahami dalam arti yang sesungguhnya. M. Quraish Shihab menyimpulkan pendapat pertamalah yang lebih kuat.[7]
Dasar yang dipakai manusia ketika bersedia menerima amanat tersebut adalah karena ia diberi kemampuan atau potensi oleh Allah yang memungkinkan mampu mengemban amanat itu. Potensi yang dimaksud bukan saja potensi untuk dapat menunaikan amanat tersebut, tetapi potensi yang dapat menunaikan amanat dengan baik dan bertanggungjawab.[8] Sebab jika Allah mengetahui ketiadaan potensi yang dimiliki oleh manusia, niscaya Dia tidak akan menyerahkan amanat yang berat tersebut kepadanya. Tidak ubahnya seperti seorang ayah yang menyerahkan sebilah pisau kepada anak kecil, atau memerintahkan anak di bawah umur untuk mengemudi kendaraan. Sang ayah yang bijaksana baru akan menyerahkan hal tersebut jika sang anak sudah mampu dan mempunyai potensi untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.
Dalam salah satu ayat al-Qur’an, kemampuan atau potensi itu disimbolkan dengan kemampuan dalam mengeja nama-nama benda seluruhnya. Dengan inderanya, manusia mengirimkan masukan informasi ke otaknya yang merupakan pusat pengolahan data dan pengetahuan. Pengetahuan yang demikian ini disebut pengetahuan konseptual.[9] Hal ini diisyaratkan dalam al-Qur’an yang artinya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”.[10]
Dengan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hokum-hukum kebenaran yang terkandung dalam ciptaan-Nya –semua yang ada di alam ini- seperti yang terkandung dalam ayat di atas, maka manusia dapat menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan untuk kemaslahatan umat manusia.[11]
Kemampuan lain yang diberikan Allah kepada manusia adalah kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, seperti terdapat dalam al-Qur’an yang artinya:
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan-Nya) sesungguhnya Allah telah mengilhamkan kepada jiwa itu (kemampuan untuk membedakan) mana yang salah dan mana yang benar”.[12]
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa Allah telah memberikan potensi kepada manusia untuk menelusuri jalan kedurhakaan dan ketakwaannya. Ibn Asyur seperti yang dikutip oleh M. Quraish Shihab memahami kata alhamaha dengan anugerah Allah yang menjadikan seseorang memahami pengetahuan yang mendasar serta menjangkau hal-hal yang bersifat aksioma bermula dengan keterdorongan naluriah kepada hal-hal yang bermanfaat, seperti dorongan untuk menghindari bahaya.[13]
Berdasar kedua ayat dia atas, cukup beralasan jika Allah memberikan tanggungjawab kepada manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Alasan tersebut adalah adanya kualitas dan kemampuan manusia dalam berfikir, menangkap, dan mempergunakan simbol-simbol komunikasi.[14]
2. Peran dan Tanggungjawab Manusia sebagai Hamba Allah dan Makhuk Sosial
Peran dan tanggungjawab manusia yang paling utama adalah bagaimana manusia mampu memposisikan dirinya di hadapan Allah dan kehidupan sosialnya. Untuk mengetahui hal tersebut perlu dipaparkan terlebih dahulu maksud dan tugas diciptakan manusia itu, seperti dijelaskan dalam ayat al-Qur’an yang artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin and manusia kecuali agar mereka mengabdi kepada-Ku”.[15]
Term Abdi dan pengabdian merupakan kata-kata yang biasa dipergunankan sehari-hari. Tetapi dalam konteks al-Qur’an kata ‘abd –yang darinya bahasa Indonesia abdi dan pengabdian itu berasal- mengandung pegertian yang luas dan dalam secara baik secara teologis maupun filosofis.
Namun demikian, dalam tulisan ini tidak akan dibahas secara detail konsep ‘abdi’ atau pengabdian secara komprehensif, layaknya tafsir tematik tentang konsep ‘Abd dalam al-Qur’an. Sub bahasan ini akan menjelaskan bahwa dalam al-Qur’an pengabdian sebagai bentuk penghambaan tidak berlaku dalam hubungan selain dengan Tuhan. Prinsip yang terdapat dalam ayat di atas adalah al-Qur’an tidak mengakui perbudakan atau penghambaan manusia oleh manusia yang lain, lembaga atau ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya. Sebab keengaanan manusia menghamba kepada uhan, akan mengakibatkan ia menghamba pada dirinya, hawa nafsunya.
Diantara bentuk peghambaan selain kepada Allah dapat ditemukan dalam ayat al-Qur’an yang artinya:
“Ketahuilah, bahwa sesunggunya kehidupan dunia hanyalah permainan dan kelengahan, serta perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangga tentang harta dan anak-anak, ibarat hujan yang mengagumkan para petani tanam-tanamannya, kemudian ia menjadi kering, lalu engkau lihat dia menguning kemudian ia menjadi hancur dn di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridha’an-Nya. Dan tidaklah kehidupan dunia kecuali hanyalah kesenangan menipu.[16]
Didapatkan kecenderungan manusia yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu mereka tidak mampu membebaskan dirinya dari perbuatan atau pengambaan terhadap gemerlap kehidupan dunia, seperti kebanggaan atas anak keturunan, berlomba-lomba dalam menumpuk harta, gaya hidup mewah yang berlebih-lebihan.
Gaya hidup yang dijelaskan dalam ayat di atas tadi menggunakan pendekatan matsal atau perumpamaan. Metode ini digunakan agar supaya lebih mengena, mudah dipahami, karena pesan yang disampaikan sangat dekat dan real dengan apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Adapun obyek yang dijadikan perumpamaan dari gaya hidup demikian adalah “air”. Air tersebut diturunkan dari langit dan membasahi bumi, kemudian air tersebut menumbuh-suburkan tanaman. Melihat tanam-tanaman yang tumbuh subur tersebut, para petani senang dan bergembira, mereka yakin hal itu terjadi karenan jerih payah yang telah mereka lakukan. Padahal kegembiraan dan kesenangan petani tersebut dapat saja sirna dengan sekejap mata, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Hal ini disebabkan karena kegembiraan dan kesenangan para petani tanpa diikuti rasa syukur dan pengakuan bahwanya kenikmatan tersebut datangnya dari Allah.
Orang yang senantiasa mengejar kesenangan duniawi pada dasarnya tidak memahami peran dan tanggungjawabnya sebagai hamba Allah. Dalam terminology teologi Islam beribadah atau penghambaan memiliki dua arti. Pertama, beribadah dalam arti sempit yang disebut dengan ibadah mahdhah. Ibadah yang masuk dalam lingkup ini seperti shalat, puasa, haji, yang mengandung ritus yang mutlak. Kedua, ibadah dalam arti yang luas. Beribadah dalam arti ini adalah mendedikasikan seluruh sikap dan tindakan seseorang hanya kepada Allah. Dalam al-Qur’an disebutkan sebagai berikut, yang artinya:
“......Jangan kamu mengabdi selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepda manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat……”.[17]
Ayat ini mengandung dua perintah ibadah yaitu perintah menyembah Allah, dan kedua adalah konsekuensi-konsekuensi dari beribadah kepada Allah yaitu berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, orang miskin, anak yatim, berbuat baik kepada sesame.
Dari penjelasan tersebut, berarti bentuk ketaatan seseorang kepada Allah dengan menjalankan ibadah-ibadah vertikal harus senantiasa disertai dengan ibadah-ibadah sosial horizontal. Tidak cukup jika seorang mukmin yang setiap hari melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa dan melaksanakan ibadah haji, tetapi di lain kesempatan ia menyakiti tetangga, menggunjing, menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, memamerkan kebajikan (QS.al-Ma’un, 2,3,4,6). Perilaku negatif ini juga diperkuat lagi oleh hadits yang menjelaskan tentang orang muflis (orang yang bangkut) pada hari kiamat nanti yang berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاتِهِ وَصِيَامِهِ وَزَكَاتِهِ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيَقْعُدُ فَيَقْتَصُّ هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْتَصَّ مَا عَلَيْهِ مِنْ الْخَطَايَا أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ رواه الترمذى) [18]
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: Apakah engkau tahu apa itu orang yang bangkut? Para sahabat menjawab: Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak mempunyai satu dirham dan tidak mempunyai perhiasan”, Lalu Rasulullah berkata: “Orang yang bangkrut dari umatku adalah seseorang yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalatnya, puasanya, zakatnya dan datang dengan dosa menghina, menggunjing, memakan harta orang lain, membunuh, memukul. Maka orang yang demikian, nilai kebajikannya akan dipindahkan kepada orang yang disakiti dan dizalimi, dan jika nilai kebajikannya telah habis, maka dosa mereka yang disakiti dan dizalimi akan diberikan kepadanya, kemudian ia akan dijebloskan ke dalam neraka.
Dialog antara Rasulullah dengan para sahabat yang terdapat dalam hadits di atas memberikan pengertian bahwa orang yang “bangkrut” itu tidak saja terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan praktek ekonomi. Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa seseorang yang tidak mampu berperan dan bertanggungjawab dalam kehidupan sosialnya dengan baik dapat dikategorikan kepada orang-orang yang “bangkrut”. Sehingga orang yang demikian tidak akan mempunyai deposito kebajikan sebagai bekal hidup diakhirat kelak.
Dalam upaya menempatkan proporsi ibadah vertical dan horizontal, Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Islam Alternatif sedikit mengecam seorang muslim yang merasa puas hanya karena telah melaksanakan shalat, puasa dan ibadah mahdhah lainya, padahal ibadah-ibadah sosial masih terbentang luas. Melihat kondisi masyarakat Islam yang demikikan, dalam buku tersebut diuraikan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an memberikan quota yang lebih besar kepada ibadah yang bersifat sosial . Bahkan menurutnya dengan mengutip pendapat Ayatullah Khomeini, dalam al-Hukumah al-Islamiyah, perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus, untuk satu ayat tentang ibadah, ada seratus ayat yang menjelaskan tentang mu’amalah.[19]
Dalam kehidupan masyarakat beragama pada umumnya, ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan, seringkali diartikan ketaatan dan kepatuhan seseorang terhadap ajaran agama. Ajaran agama itu kemudian dimengerti sangat formalistic, seperti yang tercermin dalam ketentuan-ketentuan peribadatan.
Pemahaman yang teramat formalistic terhadap agama, atau formalisme agama dalam kehidupan masyarakat melahirkan kepekaan yang teramat kuat terhadap ketentuan-ketentuan formal keagamaan saja, tetapi mengabaikan kepekaan sosial dan moral. Seakan-akan peribadatan kepada Tuhannya hanya akan diterima jika seseorang memenuhi ketentuan formalnya, meskipun realitas sosial dan kepekaan moralnya rendah. Akibatnya peribadatan terlepas dari kaitan dengan realitas sosial dan moral.
Penjelasan di atas bukan ingin mengatakan bahwa ketaatan dan kepatuhan kepada ajaran agama dalam arti formalistic tidak akan mempunyai dampak etis teologis yaitu pahala dan balasan dari Allah, tetapi hendaknya selain mempunyai dampak etis dan teologis, ibadah-ibadah tersebut harus mempunyai dampak sosial dan moral. Seorang yang ahli ibadah kemudian hidup dengan serba kecukupan, tetapi tidak pernah peduli dengan masyarakat lingkungannya yang hidup serba kekurangan, dapat saja memberikan peluang kejahatan kepada orang lain dengan tindak pencurian, perampokan dan bentuk kejahatan lainnya. Semestinya, perlu dipahami bahwa kepedulian sosial juga merupakan lahan ibadah yang dapat dilakukan oleh siapapun.
3.Peran dan Tanggungjawab Manusia sebagai Khalifah fil Ardl
Dalam sub bahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa antara peran dan tanggungjawab manusia sebagai hamba Allah dan makhluk sosial tidak dapat dipisahkan, keduanya mempunyai hubungan fungsional dan korelatif. Manusia dalam perannya sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari perannya sebagai khalifah fil ardl. Firman Allah yang artinya:
“ ….Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…”[20]
Khalifah fil ardl dapat diartikan pengemban amanat yang diberikan Allah kepada manusia. Tugas manusia dalam rangka mengemban amanat “khalifah fil ardl” yang terkandung dalam ayat di atas adalah mengelola dan memakmurkan bumi dengan menggali sumber daya alam yang ia miliki untuk kesejahteraan manusia. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kemampuan manusia untuk mengambil manfaat dari kekayaan alam yang tersedia. Karena Allah menciptakan kekayaan alam tidak lain diperuntukkan bagi manusia (QS. Al-Baqarah:29).
Salah satu sumber daya alam yang dapat dieksplorasi adalah “air”[21]. Secara umum keberadaan air sangat banyak manfaatnya, seperti dapat menyuburkan tanaman, untuk keperluan hidup manusia seperti makan, dan minum (QS. Yunus:24).
Pada zaman teknologi canggih sekarang ini, potensi energi air tidak saja terbatas pada fungsi untuk menyuburkan tanaman dan keperluan hidup domestic manusia. Akan tetapi dengan teknologi modern, air yang sudah dibendung kemudian terbentuklah waduk yang dapat menghasilkan energi potensial air. Air dari waduk itu dialirkan ke bawah untuk memutar turbin. Pemutaran turbin dapat menghasilkan energi listrik. Apa yang terjadi di sini adalah transformasi energi potensial air menjadi energi listrik.[22]
Selain itu, potensi positif air dapat dimanfaatkan sebagai pendukung utama sector perikanan seperti budi daya ikan dan binatang air dan laut lainnya. Manusia juga juga dapat memanfaatkan potensi air sebagai sarana pariwisata, seperti air terjun, keindahan waduk, pantai dan lain sebagainya.[23]
Jadi manusia dapat memanfaatkan potensi sejauh mana ia dapat menggali potensi positif air tersebut. Air akan mendatangkan kesejahteraan bagi orang banyak apabila mampu memanfaatkan air sesuai ukurannya. Begitu juga sebaliknya air dapat mendatangkan malapetaka bagi kehidupan manusia apabila mereka tidak mampu mengolah air.
Potensi positif air inilah yang harus ditiru oleh manusia dalam hubungannya dengan peran dan tanggungjawabnya sebagai khalifah fil ardl. Mandat khalifah fil ardl yang diamanatkan kepada manusia haruslah bersifat kreatif dan inovatif, yang memungkinkan manusia dapat mengolah serta mendayagunakan sumber daya alam yang ada, dan menciptakan sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat.
Potensi positif air yang dapat diteladani oleh manusia adalah sejauh mana seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain sebagaimana manusia yang banyak mengambil manfaat dari air. Bukan sebaliknya mendatangkan kerusakan, apalagi jika kehadiran kita menjadi beban bagi orang lain. Katakanlah seorang pemimpin akan selalu mengemban amanat yang diberikan kepdanya dengan penuh rasa tanggungjawab. Semakin tinggi rasa tanggungjawab seorang pemimpin, maka akan semakin terasa kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Hadits Rasulullah berikut ini dapat dijadikan referensi dalam memaksimalkan peran dan tanggungjawab manusia sebagai khalifah fil ardl:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ قَالَ فَأَيُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ رواه الترمذى)[24]
Artinya: Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah dari Bapaknya, ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, siapakah yang dikatakan sebaik-baiknya manusia itu?” Rasulullah menjawab: “Sebaik-baik manusia adalah orang yang diberi umur panjang dan dipergunakan untuk melakukan amalan yang baik, dan seburuk-buruk manusia adalah orang yang diberi umur panjang tetapi diisi dengan amalan yang buruk”.
Selain motivasi optimalisasi peran dan tanggungjawab manusia sebagai khalifah, hadits di atas dapat juga dipahami bahwa untuk mengukur seberapa banyak peran seseorang dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fil ardl, dapat dilihat dari bagaimana ia memanfaatkan nikmat umur (hidup) untuk selalu berbuat kebajikan. Ada bentuk pertanggungjawaban terhadap apa saja yang telah ia lakukan untuk kesejahteraan ummat. Begitu juga sebaliknya, seseorang dapat dikatakan tidak melaksanakan perannya sebagai khalifah fil ardl, selama kehadirannya di dunia ini tidak mendatangkan manfaat bagi orang lain, bahkan dengan kehadirannya di tengah-tengah masyarkat menimbulkan keresahan. Jika ia tidak dapat melaksanakan perannya secara maksimal, maka sudah tentu tidak dapat mempertanggungjawabkan mandat yang diberikan kepadanya.
Lebih jauh lagi, peran dan tanggungjawab manusia sebagai khalifah tidak saja terbatas pada kemampuan mengeksplorasi sumber daya alam, tetapi bagaimana agar hasil dari eksplorasi tersebut dapat dijadikan bekal atau modal untuk melakukan perubahan dan pengembangan masyarkat, khususnya masyarakat Islam.
Secara terminoligis menurut Amrullah Ahmad pengembangan masyarakat Islam adalah suatu system tindakan nyata yang menawarkan model pemecahan masalah umat dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam.[25]
Dengan demikian, pengembangan masyarakat Islam merupakan model empiris pengembangan prilaku individual dan kolektif dalam dimensi amal saleh (karya terbaik), dengan tujuan untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Dari situlah lahir beberapa perspektif dan alternative (problem solving).
2.6.1 Peran Manusia Menurut Islam
Berpedoman kepada QS Al Baqoroh 30-36, maka peran yang dilakukan adalah sebagai pelaku ajaran Allah dan sekaligus pelopor dalam membudayakan ajaran Allah. Untuk menjadi pelaku ajaran Allah, apalagi menjadi pelopor pembudayaan ajaran Allah, seseorang dituntut memulai dari diri dan keluarganya, baru setelah itu kepada orang lain.
Peran yang hendaknya dilakukan seorang khalifah sebagaimana yang telah ditetapkan Allah, diantaranya adalah :
1. Belajar (surat An naml : 15-16 dan Al Mukmin :54) ; Belajar yang dinyatakan pada ayat pertama surat al Alaq adalah mempelajari ilmu Allah yaitu Al Qur’an.
2. Mengajarkan ilmu (al Baqoroh : 31-39)
3. Membudayakan ilmu (al Mukmin : 35 ) ; Ilmu yang telah diketahui bukan hanya untuk disampaikan kepada orang lain melainkan dipergunakan untuk dirinya sendiri dahulu agar membudaya. Seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW.
2.6.2 Tanggung Jawab Manusia Menurut Islam
Manusia diserahi tugas hidup yang merupakan amanat Allah dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan, wakil Allah di muka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam.
Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang mandat Allah untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya.
Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang berupa kebebasan memilih dan menentukan, sehingga kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis. Kebebasan manusia sebagai khalifah bertumpu pada landasan tauhidullah, sehingga kebebasan yang dimiliki tidak menjadikan manusia bertindak sewenang-wenang.
Kekuasaan manusia sebagai wakil Allah dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hukum-hukum Allah baik yang tertulis dalam kitab suci (al-Qur’an), maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta (al-kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya, serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu, ia diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam QS 35 (Faathir : 39) yang artinya adalah :
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lainhanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”.
Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai hamba Allah, bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang padu dan tak terpisahkan. Kekhalifan adalah realisasi dari pengabdian kepada Allah yang menciptakannya.
Dua sisi tugas dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa. Apabila terjadi ketidakseimbangan maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan derajat manusia meluncur jatuh ketingkat yang paling rendah, seperti fiman-Nya dalam QS (at-tiin: 4) yang artinya “sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Di dalam Al Quran sudah begitu lengkap semua hal mengenai fungsi, peran dan tanggung jawab manusia. Oleh karena itu manusia wajib membaca dan memahami Al Quran agar dapat memahami apa fungsi, peran dan tanggung jawabnya sebagai manusia sehingga dapat menjalani kehidupan dengan penuh makna.
2.6.3 Tujuan Hidup Manusia Menurut Islam
Hidup menurut konsep islam bukan hanya kehidupan duniawi semata, tetapi berkelanjutan sampai pada kehidupan ukhrowi (alam akherta). Dan apa yang kita lakukan selama di dunia, maka itulah yang akan kita petik di akherat nanti.
Hidup di dunia ini merupakan terminal dari perjalanan kehidupan manusia yang panjang, mulai dari alam arwah, alam arham, alam dunia, alam barzakh dan berakhir di alam akherat. Dan untuk bisa berakhir dengan happy ending salah satunya adalah dengan mendapat ridho dari Allah SWT. Dan inilah yang menjadi tujuan hidup manusia yaitu mencari ridho Allah SWT. yang direalisasikan dalam bentuk perjuangan menjalankan tugas dan fungsi gandanya tersebut.
BAB 3 PENUTUP
KESIMPULAN
Manusia dalam agama islam diartikan sebagai makhluk Allah SWT yang memiliki unsur dan jiwa yang arif, bijaksana, berakal, bernafsu, dan bertanggung jawab pada Allah SWT. Manusia memiliki jiwa yang bersifat rohaniah, gaib, tidak dapat ditangkap dengan panca indera yang berbeda dengan makhluk lain karena pada manusia terdapat daya berfikir, akal, nafsu, kalbu, dan sebagainya.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Al Mukminun : 12-14)
manusia memiliki kelebihan dari makhluk lain, salah satu buktinya adalah kepatuhan manusia pada Allah SWT melalui perjuangan yang berat melawan hawa nafsu dan godaan syetan sedangkan kepatuhan malaikat kepada Allah SWT karena sudah tabiatnya, sebab malaikat tidak memiliki hawa nafsu . Oleh karena itu sebagai manusia (makhluk ciptaan Allah) seharusnyalah kita senantiasa bersyukur atas karunia dan kasih sayang-Nya, karna salah satu kunci kesuksesan adalah bersyukur.
Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak adam (manusia) dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami melebihkan mereka atas makhluk-makhluk yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang menonjol ( QS. Al Isra 70).
Fungsi utama manusia adalah sebagai khalifah di muka bumi ini dan perannya sebgai khalifah sebagaimana yang ditetapkan Allah SWT mencakup tiga poin yaitu belajar, mengajarkan ilmu, dan membudayakan ilmu. Tenggung jawab manusia sebagai khalifah yang berarti wakil Allah adalah mewujudkan kemakmuran di muka bumi, mengelola dan memelihara bumi.
SARAN
Sebenarnya Al Quran sudah membahas semua hal mengenai fungsi, peran dan tanggung jawab manusia. Oleh karena itu manusia wajib membaca dan memahami Al Quran agar dapat memahami apa fungsi, peran dan tanggung jawabnya sebagai manusia, sehingga dapat menjalani kehidupan dengan penuh makna.
Daftar pustaka
http://hidayah-ilayya.blogspot.com/2012/01/manusia-dalam-perspektif-islam-dan.html
http://bunyaminblekok.blogspot.com/2013/02/makalah-manusia-dalam-perspektif-islam.html
http://jafarmusaddad.blogspot.com/2013/02/makalah-manusia-dalam-perspektif-al.html
http://carapedia.com/pengertian_definisi_manusia_menurut_para_ahli_info508.html
http://gilardwitama.blogspot.com/2012/01/pengertian-manusia-menurut-ajaran-islam.html
http://www.kumpulansejarah.com/2013/03/sejarah-proses-penciptaan-manusia-dalam.html
http://myquran.org/forum/index.php?topic=82357.0
http://cinndyrq.blogspot.com/2013/04/analisis-bukti-kelebihan-manusia_14.html
http://unidentifyowner92.blogspot.com/2011/03/kelebihan-manusia-dibandingkan-makhluk.html
http://laboratoriumstudial-quran.blogspot.com/2012/03/peran-dan-tanggung-jawab-manusia-dalam.html
http://sholihfikr.blogspot.com/2012/10/manusia-fungsi-dan-tujuan-hidupnya.html